On Saving a Life

Bunyi rintik sisa hujan masih terdengar, juga Brave Shine dari Aimer bersorak menyemangatiku yang sesekali membolak-balik agenda kerja bulan ini. Sepertinya aku memang terlalu serius dan berdedikasi dalam pekerjaan. Bukan sesuatu yang kubanggakan maupun kurasa perlu untuk diviralkan dan lain semacamnya, tapi jelas ini sesuatu yang aku sukai untuk dilakukan. Jadi ketika dahiku berkerut sambil jemariku mengetukkan bolpoin yang sedang dipegang, itu bukan tanda aku sedang marah, hanya terlalu larut dalam berpikir.

Kuingat lagi tadi sore ada ajakan untuk menonton Godzilla vs. Kong di bioskop selepas maghrib. Kutolak sekenanya saja karena hujan menahanku untuk keluar rumah. Bukan karena takut dan khawatir atau apa. Aku sudah ke bioskop sih bulan lalu demi Doraemon. Kali ini memang sejujurnya karena cuaca. Nah, makanya waktu luangku sebaiknya kugunakan di sini saja. Menyusun tulisan sekenanya ini untuk mengawali April dan juga libur akhir pekan yang sedikit panjang nanti.

Tidak tahu pula mengapa orang tersebut salah satunya yang menanyakan apakah aku ingin ikut pergi atau tidak sore tadi. Memang kesan pertanyaannya hanya bernada kasual semata bagiku. Tapi ya tumben sekali orang seperti itu bertanya. Padaku apalagi.

Baiklah, aku akan memulai dengan cerita tentang seseorang yang entah mengapa selalu ada saja perihal kehidupannya yang tertangkap telingaku. Aku kurang paham juga. Namun aku selalu menyimpan dengan baik sebuah momen tentangnya, yang kurasa tipe orang sepertinya tidak akan mengingat hal seperti demikian.

Waktu itu kami sedang menghadiri pemakaman dari ayah seorang adik kelas kami. Beliau mengalami serangan jantung mendadak pada saat mengikuti sebuah rapat, sehingga kepergiannya tentulah sebuah duka yang teramat mendadak bagi keluarga yang ditinggalkan. Kami datang berbondong-bondong dalam sebuah rombongan besar, aku tidak terlalu ingat jumlahnya berapa orang. Yang kuingat, seorang teman pria duduk di sampingku.

Saat itu sudah sekitar enam-tujuh tahun aku mengenalnya, dan yah, sebagaimana sikapku terhadap teman-teman lelaki lainnya juga, cukup tahu saja, demikian pikirku. Memang aku sendiri pun tidak pernah menganggapnya sebagai pria baik-baik, makanya aku tidak pernah tertarik padanya. Tidak kusangkali juga bahwa karismanya memang kuat. Senyum kenes, postur dan tinggi menunjang, cukup cerdas, dan senantiasa meninggalkan kesan cool, sporty, juga sedikit misterius. Yup, tokoh utama dalam bacaan teenlit memang bisa ditemukan juga dalam kisah nyata sih. Eh kalau ada teman yang membaca dan tahu orangnya di dunia nyata, ya sudah lah ya. Dia memang sudah tahu sih pendapatku soal dirinya. 🙄

Yang sebenarnya membuatku sedikit mengingatnya dari waktu itu adalah ketika itu ia yang duduk tegak di samping kiriku mendadak berbalik ke arahku dan bertanya dengan kerutan dahi, “Hei, why are you such an angel?”

Itu sebuah kejutan yang tidak menyenangkan bagiku. Kerutan dahinya yang hanya terkesan bertanya-tanya kubalas dengan kerutan dahi tanda aku tidak nyaman, seraya berujar, “Apa maksudnya?”

Ada beberapa penjelasannya, yang entah kenapa sedikit terbata-bata, yang sepertinya kubalas dengan hmm dan hmm dan hmm. Jujur saja, buatku isinya bukan hal yang penting amat. Aku tidak pernah ingin dianggap seperti demikian. Heran. Memang ada ya wanita yang ingin mendengar kata-kata seperti itu?

Mungkin maksudnya baik sih. Mungkin. Mungkin sekali. Mungkin persepsiku terhadapnya yang tidak begitu baik. Pada dasarnya juga aku tidak terlalu ingin untuk kontak secara intens dengan tipe lelaki demikian. Maksudnya yang seperti apa? Maksudnya yang semacam piala bergilir, yang dikejar para wanita dari berbagai arah. Lintas kota, provinsi, bahkan lintas benua!

Iya. Mungkin maksudnya baik. Mungkin. Mungkin sekali. Tapi tidak tepat, setidaknya tidak bagiku. Makanya di sini pun aku mencoba menertawakan saja kalimat ‘ceroboh’ seperti itu. Kalimat demikian bukannya membuat aku tersanjung, namun mendorongku untuk merespons dengan sinis. Kenapa juga seseorang harus berpikir maupun berkata demikian?

Mari kita pikirkan sejenak.

Seberapa ingin seseorang mengambil peran sebagai malaikat? Seberapa ingin ia menyelamatkan orang lain? Seberapa mampu orang tersebut untuk melakukannya? Seberapa besar orang tersebut yakin dapat melakukannya?

Aku tidak berani sejauh itu. Aku tahu apa yang mampu kulakukan, ya kulakukan. Aku tahu apa yang tidak mampu kulakukan, ya… aku harus bagaimana? Keinginan semata tidak akan membawa kita ke mana-mana. Duh, kok ini kacamata memburam.

Ah.

Yang jelas aku hanya terus berpikir, no, that’s not me… I’m not like that..., semacam racauan tanpa arah.

Bagaimana ya menjelaskannya? Dalam hidup ini, ada banyak hal kulakukan. Ada juga banyak hal yang kuputuskan untuk tidak kulakukan.

Seberapa ingin aku menyelamatkan orang lain? Seberapa mampu aku untuk melakukannya? Seberapa besar aku yakin dapat melakukannya?

Sudah tahu banyak hal, apakah pasti akan selalu dapat melakukan dengan baik? Jelas tidak semudah itu.

Hal-hal baik dapat dilakukan sebanyak-banyaknya di dunia, apakah itu akan menyelamatkan seseorang? Bisa ya, bisa tidak.

Jika ya, beruntung sekali rasanya. Bagaimana jika tidak?

Ya memang, jelaslah sudah keraguan dan kurangnya rasa percaya diri ini sungguh amat menghambat.

Sudah bertahun-tahun aku mendoakan ini kepada Tuhan, bahwa aku ingin menjadi gadis yang beruntung. Karena usaha saja tidak selalu cukup. Itulah kenyataannya.

Namun bukan aku kalau tidak keras kepala. Berbahaya sekali. Nekat sekali. Mengetahui probabilitas suatu hal hampir tidak ada, namun tetap menantang ketidakmungkinan.

Memang seperti itulah hidup yang dapat kita usahakan, bukan?

Ya, masih banyak cerita tentang bagaimana keinginan menyelamatkan seseorang itu sungguh nyata ada. Tidak berarti tidak bisa diwujudkan. Tidak berarti tidak ingin kulakukan. Kalau tentangmu belum tersebutkan, bukan karena aku tidak memikirkanmu, hanya saja belum waktunya untukmu dituliskan di sini.

Kamu jelas tahu, aku tidak bohong.