Kenyataan dan Keinginan

Ini tulisan yang spontan. Aku tidak bisa menyangkali aku cukup terpengaruh akan sebuah cerita sore tadi. Dari seorang yang berusaha menyembunyikan segala bebannya dibalik senyuman dan semangatnya menjalani hari.

Sekalipun wajah dan penampilannya terlihat seperti gadis berusia pertengahan dua puluhan tahun, namun nyatanya beliau sudah memasuki akhir tiga puluhan. Ia seorang mama, dengan tiga anak perempuan yang cantik-cantik sama seperti ibunya. Anak bungsunya sedang dipertimbangkan untuk masuk TK kecil, namun kondisi pandemik membuat beliau ragu. Beliau pun menanyakan pandangan beberapa kami, baik yang sudah menikah maupun belum, agar dapat memutuskan yang terbaik bagi anaknya.

Diakhir pertemuan sore tadi, hampir pukul enam sore, aku terus mengamati putaran detik jam tanganku. Berusaha mengalihkan pandangan dari beliau yang matanya memerah dan berkaca-kaca. Beliau mulai sesenggukan.

“Aku butuh suamiku. Anakku butuh papanya.” Tidak terelakkan lagi air matanya berderai. Aku memberi kode kepada seorang teman yang jaraknya lebih dekat dengan beliau untuk segera mengulurkan tisu.

Jika dikatakan aku ikut terenyuh, ya jelas. Jika dikatakan aku marah, itu juga iya. Katanya pria itu sudah dikenal puluhan tahun sejak masa sekolah dulu. Teman baiknya. Yang kemudian diputuskan untuk dijadikan teman hidup. Selalu romantis. Selalu berdua. Tidak ada pertanda apa-apa, sampai akhirnya kelahiran anak ketiga mereka. Change of heart? After all this time? How dare you? How could you?

Aku teringat sebuah percakapan singkat beberapa waktu lalu. Insecurity is something I can accept. Infidelity is a big no-no. Begitu ucapku. Penuh ketetapan hati. Atau barangkali hanya keras kepala. Ini isu yang sensitif, yang sedikit banyak kudengar pembahasannya terus-menerus semenjak Senin kemarin. Mulai dari skandal selebriti, beberapa orang ternama, dan lain sebagainya. Kuakui ini bukan sesuatu yang dekat dengan kehidupanku. Sebenarnya bukan juga sesuatu yang ingin kupahami.

“Menikah itu berat lho. Kamu belum tahu, ‘kan. Nanti akan ada rasa bosan, juga selalu ada saja masalah untuk diperdebatkan,” demikianlah kata beberapa orang.

Itu betul, secara teori aku mengiyakan, yang kuamati juga seperti demikian adanya. TAPI. Masalah apa yang jalan keluarnya dicari diam-diam dalam kenyamanan yang diberikan pihak lain, bukannya diselesaikan bersama?

Seringkali dapat saja muncul perdebatan ataupun mungkin kita merasa berat untuk mengungkapkan sesuatu kepada pasangan, dan lalu kemudian memutuskan bercerita pada orang lain. Bukankah hal sekecil itu saja dapat menimbulkan rasa bersalah yang amat luar biasa? Bagaimana mungkin dengan seseorang yang disebut spesial ini seorang lainnya tidak membukakan segala sesuatunya, tapi justru kepada orang lain? Iya, aku berpikir sejauh itu.

Sampai sekarang aku tidak ingin memahami hal ini, tentang mengapa seseorang mendua hati. Selalu ada alasan untuk membenarkan sesuatu seperti ini. Selalu ada jalan untuk melakukan hal seperti ini. Membuat sedikit banyak aku terperangah.

“Kan cuma teman.” Seperti itu salah satunya.

Apa iya kita mengutamakan teman melulu dibandingkan pasangan? Bahkan sampai membuat pasangan meragukan bahwa dirinya istimewa? Tentu saja pendapatku ini baiknya dipahami pula bahwa memiliki teman itu baik dan perlu. Namun yang membuat keputusan untuk masuk dalam sebuah hubungan khusus dengan seseorang khusus lainnya adalah kita sendiri, bukan? Ada syarat dan ketentuan untuk itu. Jika memang keduanya ingin dan bersedia, ikuti dan usahakan sebaik-baiknya bersama. Jika tidak suka, mungkin memang hubungan itu bukan untuk kita. Mungkin begitu, sekalipun tidak sesederhana itu juga.

Ah entahlah, aku bukan orang yang pandai dalam hal seperti ini. Bukan pula seseorang yang sudah banyak makan asam garam.

Yang kutahu adalah cinta dan kesetiaan berjalan berdampingan. Namun keyakinan demikian sepertinya akan memudar, karena katanya masalah-masalah yang dihadapi dalam dunia ini baik sekarang maupun nanti akan semakin berat untuk dihadapi. Oleh karenanya, katanya pula lebih penting memandang bahwa masalah-masalah itu lebih besar dari apa yang bisa dua orang dalam sebuah hubungan lakukan. Aku sama sekali tidak ingin mengakuinya. Yang kuinginkan adalah bahwa serumit dan semustahil apapun keadaannya, masih ada dua orang di dunia ini yang tidak akan semudah itu mengkhianati satu sama lain.

Aku hanya ingin percaya, sekalipun hanya untuk sekali lagi.

Mayday! Mayday! Mayday!

Oke, jadi begini. Karena sebulanan April lalu dipadati ceklis tentang pekerjaan, puncaknya pada hari Buruh ini saya ingin menuliskan banyak hal. Mungkin tidak semua tertuangkan, tapi setidaknya saya dapat lebih memahami pendekatan diri sendiri mengenai apa itu bekerja.

.

Haruskah produktif setiap waktu?

Bukannya manusia memang memiliki natur untuk produktif? Masa sih manusia hidup hanya untuk rebahan sepanjang waktu? Saya pribadi menganggap bahwa manusia memang perlu memiliki vitalitas hidup, yang kebanyakan bersumber pada pengaturan prioritas dan manajemen waktu. Terutama sekali gairah ini timbul dari apa yang dapat kita lakukan sebagai bentuk kontribusi dalam hidup. Eh tapi, yang jelas saya tidak merasa harus terikat pada pekerjaan setiap waktu. Dengan kata lain, bagi saya, produktif bukan hanya tentang pekerjaan.

Seperti apa a good day at work itu?

Tentu saja wajib dimulai dengan pagi hari yang menyenangkan. Bangun dengan segar setelah tidur yang lelap, menikmati sarapan dengan santai, membaca ataupun menonton berita, melihat sekilas agenda yang sudah diperiksa kemarin, kemudian mengecek sedikit hal-hal yang masih perlu dipersiapkan. Barulah menjalani setiap poin yang tertera untuk dikerjakan.

Kemudian dalam bekerja, rapat yang dilakukan pun memiliki tujuan dan agenda yang jelas, sehingga terukur pencapaiannya. Jam break dan lunch terpakai dengan baik, entah itu untuk menambah energi melalui makan minum maupun sedikit bersosialisasi, atau malah sekadar mendengarkan musik-musik yang sedang digandrungi.

Demikian pula komunikasi sepanjang jam kerja berjalan lancar. Feedback yang diberikan bersifat konstruktif, pertanda semua saling mendengarkan dan saling menghargai. Banyak pertanyaan muncul dari rasa ingin tahu serta kemauan untuk belajar dan berkembang. Jam pulang pun dijalani dengan membereskan barang-barang dan menuliskan agenda untuk besok hari. Sepulang kerja bisa dihabiskan dengan mengobrol bersama rekan kerja, minum teh sore bersama ataupun segera pulang untuk istirahat. Demikianlah selalu ada pilihan terbuka yang membuat diri merasa nyaman. Kira-kira begitulah. Terlalu ideal? Ya memangnya siapa sih yang selalu merasa hari kerjanya berjalan baik-baik saja setiap waktunya?

Apakah kehidupan personal dan kehidupan pekerjaan dapat seimbang?

Work-life balance ini semacam simplifikasi barangkali ya? Sejauh ini dari pengamatan saya, keduanya tidak bisa seimbang. Entah jikalau ada yang mengklaim hal ini dapat diusahakan. Pada dasarnya kita selalu kesulitan pada satu sisinya sih. Entah mungkin tidak merasa puas atau tidak maksimal, tapi keseimbangan semacam apa yang dibicarakan juga sepertinya tidak begitu jelas indikatornya. Sejauh ini saya tidak percaya orang yang pulang teng-go tepat waktu adalah orang yang paling bahagia dalam pekerjaannya. Hey, mungkin sekali kerjaannya nggak beres! Eh, maaf saya julid saat bulan puasa.

Pada sisi sebelah koin, demikian pula orang yang bekerja sampai begadang memang secara umum memaknai dedikasinya secara romantis. Bisa juga karena ia masih belum memiliki skill yang mumpuni, atau masih buruk mengatur waktu atau juga beban kerjanya melebihi kapasitas. Itu juga mungkin.

Kembali lagi pada pernyataan awal saya, saya belum pernah melihat sosok yang menunjukkan bahwa keseimbangan ini hal yang visibel. Keputusan mengutamakan kehidupan pribadi, entah itu keluarga atau pergaulan seringkali mengabaikan pekerjaan. Itu kenyataannya (yang saya temukan). Pilihan mengabdi bagi pekerjaan juga dapat berimbas pada kehidupan personal seseorang, bahkan kesehatan fisik diri sendiri. Jadi ya begitu sih, mungkin baiknya kita mengusahakan segala sesuatu semampunya saja, entah itu dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan pribadi. Bagaimana dengan diri saya? Uhm, jelas saya masih asyik dengan apa yang saya kerjakan, yang masih saya pandang sebagai misi untuk diselesaikan satu per satu. Bukan berarti saya tidak memiliki kehidupan personal. Ada lah, tapi ya saya masih keukeuh bahwa keseimbangan itu rumit, jadi iya saya akui prioritas saya masihlah apa yang bisa saya kerjakan.

Side hustle(s)?

Orang yang bisa hilir-mudik antara pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan tentulah luar biasa. Entah apapun motivasinya. Penghasilan tambahan, hobi, dll. Saya cukup kesulitan mengenai hal ini, memikirkannya pun hampir jarang, padahal tawaran yang ada dari bermacam-macam bidang juga berdatangan. Kenapa ya? Apa saya terlalu setia berpikiran sempit? Cepat menyerah? Eh satu sisi saya mengakui saya menghakimi orang-orang dengan sampingan ini ketika mereka mengabaikan pekerjaan utamanya. Tidak bisa saya pungkiri itu terjadi. Sekalipun saya berusaha memahami juga mereka menginginkan rasa antusias dalam hal yang mereka kerjakan. Beberapa antara mereka juga jelas membutuhkan penghasilan tambahan. Jadi ya sejujurnya saya mencoba mengerti saja, sambil juga mengingatkan semampu saya bahwa ladang pilihan utama mereka untuk bekerja haruslah menjadi prioritas mereka untuk mengabdi. Seperti itulah.

Meminta tolong itu baik atau buruk?

Delegasi itu bukan hal yang mudah. Rasa percaya, kemampuan dan keseriusan orang lain dalam mengerjakan suatu permintaan, iya, banyak hal menjadi pertimbangan. Kerjakan semampunya saja dulu. Kalau memang ada yang perlu didiskusikan, ya lakukan. Kalau memang perlu meminta tolong, mungkin sudah waktunya. Yang jelas meminta tolong dengan motivasi tersembunyi untuk sekadar menyuruh-nyuruh karena berniat lari dari tanggung jawab pribadi itu rendah sekali.

Multitasking?

Mitos. One thing at a time. Harusnya sih ini common sense ya. Mungkin ada sih yang bakal menyahut, eh tapi bisa kok, online meeting sekaligus sama ngerjain dokumen tertentu, lalu habis rapat malah kirim pesan telegram menanyakan apa hasil pembahasan tadi atau file yang kemudian disusun malah berantakan tidak bisa dipahami. Iya, jawaban ini bernada sinis.

Mana yang lebih penting? Personal growth atau career development?

Subjektif barangkali sih ini. Saya masih percaya bahwa pertumbuhan pribadi akan mengarah pada pengembangan karir. Tidak lurus maupun selalu mulus jalannya. Tapi ya bukannya umum juga bahwa jabatan tidak selalu mencerminkan pribadi pemiliknya. So there you have it.

Benarkah orang yang terorganisir memiliki hasil pekerjaan yang lebih bagus?

Tidak juga, pekerjaan terdiri dari unsur kreativitas dan keteraturan. Entah terkesan mengotak-ngotakkan mungkin ya, bahwa orang yang kreatif pasti tidak teratur dan orang yang terorganisir pasti tidak punya ide baru nan cemerlang. Yang jelas keduanya dibutuhkan dalam bekerja.

Menggunakan barang pribadi untuk urusan kantor?

Sempat viral kan ya persoalan seperti ini. Entahlah. Mungkin tergantung tempat bekerja. Kalau memang kantornya menyediakan ya digunakanlah. Kalau memang tidak disediakan, itu resiko bergabung juga kan ya? Pastilah ada ketentuan sejak awal. Kalau apa yang disediakan kantor ada tapi tidak memadai itu juga menghambat pekerjaan sih. Diskusikan saja. Kalau bisa diakomodasi ya bagus sekali kan ya. Kalau tidak, bagaimana? Berhenti dari situ? Tidak semudah itu juga, bukan? Saya pribadi menggunakan barang pribadi untuk bekerja. Sejak dulu sudah, apalagi masa remote working seperti sekarang ini. Bahkan printilan kecil seperti buku agenda imut, bolpoin mahal, sticky notes lucu-lucu juga sudah semacam ambisi koleksi pribadi. But, it’s okay (for me)! Keputusan pribadi juga sih ini.

Bagaimana kamu menghadapi suasana politik di kantor?

Ah ini topik yang berat. Ya memang kehidupan perpolitikan organisasi manapun pastilah ada gesekan. Sering terpikir bagi saya bahwa untuk terlibat saja rasanya malas, apalagi membicarakan tentang ini. Gosip dan provokasi itu tidak menyenangkan bagi orang yang memang maunya bekerja saja. Saya masih ingat 2018 diberikan nasihat khusus, “Kamu tuh ya harus sering-sering bergaul sama banyak orang.” Kira-kira waktu itu berkaitan dengan lowongan jabatan tertentu. Bagaimana ya? Saya tidak begitu tertarik bersosialisasi dengan agenda tertentu seperti demikian. Kalau bergaul ya bergaul saja kan, saling berbagi cerita, suka-duka dalam bekerja, juga saling menyemangati. Apalagi saya memang introvert. Bukannya tidak bisa berkumpul dengan orang lain, tapi jelas itu jauh lebih sangat melelahkan ketimbang berbincang dengan pikiran sendiri. Apalagi jika dilakukan dengan tujuan khusus untuk mempengaruhi orang lain. Capek lho.

Pada dasarnya juga saya cukup tahu bahwa orang-orang terlalu percaya pada saya. Tapi saya tidak merasa itu selalu hal yang bagus. How to put it? Ehm, along with time, people don’t appreciate good things, they expect them to happen.

Penghasilan dan pengeluaran seberapa yang cukup?

Tergantung. Membedakan karakter masing-masing orang, entah hemat, entah pelit, entah ramah, entah royal. Membedakan target yang ingin dicapai masing-masing pribadi (karena makin besar pendapatan, makin tinggi resiko pekerjaan, ‘kan). Membedakan yang masih sendiri dan yang sudah berumahtangga. Membedakan pula yang mengurus orangtua dan keluarga atau hanya dirinya sendiri. Manusia juga tidak pernah puas sih ya.

Dealbreakers and turn-offs?

Ekspektasi tidak realistis, disusul pendampingan minim, malah minus alias merepotkan, instruksi tidak jelas, rantai komando kacau.

Turn-ons?

Bekerja lebih banyak dari berbicara. Mau mendengarkan. People who are helping without others noticing.

Do you love what you do?

Ya, sejauh ini iya. Beberapa orang mungkin tidak suka dengan saya yang seperti ini. Karena katanya orang yang menunjukkan passion pada apa yang dikerjakannya itu mudah sekali dibenci ^^’ Padahal ya saya tidak merasa berdedikasi sedemikian rupa juga sih. Saya fokus pada perbaikan dan kemajuan. Bahwa dalam apa yang saya kerjakan, diri saya hari ini haruslah lebih baik dari yang kemarin.

Secara jujur, saya masih iri pada banyak orang yang sudah lebih mendahului saya, sedikit membandingkan diri juga dengan mereka. Bukan selalu karena saya ingin menjadi seperti mereka. No. Lebih karena jika saya berada pada posisi mereka, akan ada alasan-alasan yang saya singkirkan dan akan ada keputusan-keputusan lain yang akan saya ambil. Agak sombong kali ya? Iya, barangkali seperti itu. Syukurlah, Tuhan mengingatkan saya selalu untuk tahu posisi dan kemampuan saya.

Akhir kata, bagi saya, apa yang saya lakukan dalam pekerjaan adalah bentuk kontribusi, bukan segalanya dalam hidup saya yang jelas tidak selamanya ini. Pengabdian itu bagus, sebagai prinsip maupun praktik. Tapi apa gunanya jika seseorang tidak menyukai apa yang ia kerjakan?

.

Ah iya, tulisan ini memang dimaksudkan untuk bernada umum dan menyemangati, kalau ada sedikit impresi negatif, saya rasa karena pekerjaan apapun itu memang tidak selalu haha-hihi juga sih ya. Uhm, dan yahh, mengenai apa spesifiknya yang saya kerjakan hampir enam tahun ini mungkin akan diceritakan lain waktu. Begitu deh. Selamat hari Buruh. Cheers!!